Kedudukan Badan Pertanahan Nasional Dalam Menyelesaikan Sengketa Lahan Perkebunan (Studi Kasus Sengketa Lahan Perkebunan antara Masyarakat dengan PT. Intan Hepta).
Nurani Dwitasari
ABSTRAK Konflik pemegang HGU a.n PT. Intan Hepta Sukabumi dengan warga masyarakat atas nama Front Pemuda Penegak Hak-Hak Rakyat (FPPHR) Sukabumi Jawa Barat yang terjadi sejak tahun 1998. Adapun ilustrasinya yaitu PT. Intan Hepta selaku pemegang Hak Guna Usaha No.19/Kabandungan seluas 556,10 Ha yang berasal dari tanah Negara bekas Hak Erfacht atas nama De te Batavia NV Cultuur My Pandan Arum dan selaku pemilik lahan perkebunan cengkeh yang digarap lahan perkebunannya oleh masyarakat Sukabumi dalam hal ini bekas buruh PT. Intan Hepta guna memperoleh hak atas tanah. Pada tahun 1997 lahan perkebunan cengkeh PT. Intan Hepta terkena hama tanaman, dan sesuai kebijakan Dinas Perkebunan dan Kehutanan tanaman cengkeh tersebut harus dibabat habis. Namun karena tidak segera dilakukan upaya rehabilitasi dan newreplantasi sehingga tampak tidak dikelola dengan baik (terlantarnya tanah tersebut), maka masyarakat bekas buruh perkebunan tersebut dan warga petani yang tinggal disekitar lahan tersebut masuk ke dalam dan menggarap lahan perkebunan tersebut hingga awal tahun 2001.Adapun tidak adanya penyelesaian yang baik dengan ini masyarakat mengajukan BPN untuk menyelesaiakan sengketa tersebut. Permasalahan dalam penulisan ini yaitu alas hak yang mendasari para pihak mengklaim merasa memiliki lahan tersebut dan bagaimana kedudukan BPN dalam menyelesaikan sengketa lahan perkebunan tersebut. Penulis menggunakan metode penelitian hukum secara normatif dan diuraikan secara deskriptif analisis. Alas hak yang mendasari para pihak merasa memiliki lahan perkebunan tersebut yaitu : (a). PT Intan Hepta memiliki kekuatan hukum dengan adanya Hak Guna Usaha No.19/Kabandungan seluas 556,10 Ha yang berasal dari tanah Negara bekas Hak Erfacht atas nama De te Batavia Cultuur My Pandan Arum; (b). Hanya karena Hak Guna Usaha tersebut sedang dalam proses perpanjangan dan lahan tersebut setelah dibabat habis tidak dilakukan upaya newreplantasi, PT. Intan Hepta mengklaim lahan tersebut masih milik PT. Intan Hepta; (c) Masyarakat mengklaim bahwa lahan tersebut merupakan tanah ulayat yang diambil secara paksa. Oleh karena itu masyarakat berupaya menjadikan lahan tersebut bermanfaat guna kelangsungan hidup mereka. Karena sejak lahan tersebut tidak difungsikan lagi, sebagian masyarakat selaku buruh lahan tersebut tidak memiliki penghasilan, (d) Dengan azas manfaat itulah masyarakat menggarap lahan tersebut dengan menjadikan lahan tersebut sawah, desa, sekolah dsb, (e) Guna tidak merugikan masing-masing pihak, maka kedua belah pihak tersebut menyelesaikannya melalui pilihan penyelesaian sengketa berupa mediasi. Badan Pertanahan Nasional memiliki kedudukan hukum yang kuat dan strategis dalam menyelesaikan sengketa lahan perkebunan. Pemerintah diharapkan agar dalam mengambil suatu keputusan lebih memperhatikan dan mempertimbangkan kepada orientasi pembangunan untuk kemakmuran rakyat dan selaku mediator Badan Pertanahan Nasional dapat memberikan putusan bagi kedua belah pihak yang bersengketa dengan seadil � adilnya.
- No. Panggil 341.2 DWI k
- Edisi
- Pengarang Nurani Dwitasari
- Penerbit Jakarta Universitas Esa Unggul 2008