Akibat Hukum Perjanjian Kredit Tanpa Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) menurut Undang-Undang No. 4 tahun 1996 tentang Hak Tanggungan.
Herman
ABSTRAK Mengingat pentingnya kedudukan perkreditan dalam proses pembangunan, sudah semestinya pemberi dan penerima kredit yang terkait dalam hal itu mendapat perlindungan melalui lembaga hak jaminan yang kuat dan yang dapat pula memberi kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata secara umum tidak mengatur hal yang dimaksud. Dalam Pasal 1131 misalnya ditentukan bahwa seluruh harta kekayaan debitur merupakan jaminan bagi pelunasan piutang semua krediturnya. Namun Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, atau yang lazim dikenal dengan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA), yang di undangkan pada tanggal 24 September 1960, akhirnya menggariskan suatu lembaga jaminan hak atas tanah yang disebut Hak Tanggungan. Lembaga Hak Tanggungan yang diatur oleh undang-undang ini adalah dimaksudkan sebagai pengganti dari Hypotheek (selanjutnya disebut dengan Hipotik) sebagaimana diatur dalam buku II KUHPerdata Indonesia. Perjanjian Hak Tanggungan bukanlah merupakan perjanjian yang berdiri sendiri, akan tetapi mengikuti perjanjian yang terjadi sebelumnya yang disebut perjanjian induk. Perjanjian induk yang terdapat pada Hak Tanggungan adalah perjanjian utang-piutang yang menimbulkan utang yang dijamin. Perjanjian yang mengikuti perjanjian induk ini dalam terminologi hukum disebut perjanjian accessoir. Sehingga penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana status dari perjanjian kredit yang dibuat tanpa diikuti dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat oleh PPAT menurut Undang- Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan serta bagaimana akibat hukumnya terhadap perjanjian kredit yang tidak diikuti dengan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) yang dibuat dihadapan PPAT.
- No. Panggil 340.2 HER a
- Edisi
- Pengarang Herman
- Penerbit Univ Esa Unggul 2011