Kedudukan Anak yang Berhadapan dengan Hukum Ditinjau dari Perspektif Viktimologi dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
Jelita Permatasari
ABSTRAK\r\nAnak yang berhadapan dengan hukum (ABH) adalah anak yang melakukan atau\r\ndiduga melakukan tindak kriminal dan mereka dituntut untuk bertanggung jawab di\r\nhadapan hukum atas perbuatannya sehingga mereka harus terlibat dalam proses\r\nhukum seperti penyidikan, penuntutan, pemeriksaan, sidang pengadilan dan banyak\r\ndiantaranya yang harus menjalani hukuman di dalam penjara. ABH masih berusia\r\nanak-anak, oleh karena itu, ABH pun berhak atas hak-hak anak yang ada dalam\r\nUndang-Undang No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU No. 4/1979\r\ntentang Kesejahteraan Anak, UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak,\r\nserta dalam skala internasional, mereka berhak untuk memperoleh hak-hak anak\r\nyang tercantum dalam Deklarasi Jenewa tahun 1924, Deklarasi Universal Hak Asasi\r\nManusia tahun 1948, Deklarasi Hak Anak tahun 1959, Konvensi Hak Anak tahun\r\n1989. Dalam dunia internasional, hak ABH diatur dalam Riyadh Guidelines tahun\r\n1990, Beijing Rules tahun 1985 dan Havana Rules tahun 1990. Skripsi ini\r\nmembahas masalah kedudukan ABH yang berbenturan dengan hak-hak anak serta\r\nmenganalisanya dari beberapa kasus yang telah memiliki putusan tetap.\r\nPenyusunan skripsi ini dibuat bersifat normative-empiris, dimana data diperoleh dari\r\nkajian pustaka di beberapa perpustakaan serta mengandung hasil wawancara\r\ndengan staf sebuah lembaga khusus anak yaitu Komisi Perlindungan Anak\r\nNasional. Kedudukan ABH yang selalu dinilai salah dimata masyarakat ditinjau\r\nmelalui perspektif viktimologi dan terbukti bahwa ABH merupakan korban\r\nlingkungan, korban penelantaran dan korban ekonomi sehingga kedudukan ABH\r\ntidak hanya dinilai sebagai anak yang bermasalah, namun mereka juga anak-anak\r\nyang telah kehilangan hak-haknya yang tercantum dalam berbagai undang-undang,\r\nbaik sebelum mereka melakukan tindak pidana dan bahkan setelah mereka\r\nmelakukan tindak pidana dan ditangani oleh aparat, hak-hak mereka malah semakin\r\nterampas. Oleh karena itu, aparat diharapkan untuk mengaplikasikan pilihan\r\npenanganan kasus ABH yaitu diskresi, diversi dan restorative justice. Pilihan\r\npenanganan ini dinilai lebih efektif dalam mencapai tujuan pemidanaan anak, yaitu\r\nmembina anak untuk berubah menjadi lebih baik. Hal ini dikarenakan bahwa di\r\ndalam undang-undang pun disebutkan bahwa pengadilan merupakan pilihan\r\nterakhir dalam pemidanaan terhadap ABH, artinya selama ABH masih bisa\r\ndibimbing, dibina dan ia dapat memperbaiki karakternya di luar sel penjara maka hal\r\ntersebut akan sangat menguntungkan bagi ABH dan secara tidak langsung juga\r\nmenguntungkan Negara karena akan semakin sedikit anak-anak nakal yang dididik\r\ndi dalam penjara dan menjadi seorang criminal sejati saat mereka keluar dari\r\npenjara. Disarankan apabila aparat hukum diberikan pengetahuan mengenai hakhak\r\nanak dan pilihan penganganan kasus ABH sehingga tidak lagi terjadi\r\npelanggaran hak anak di dalam institusi hukum. Selain itu, lingkungan keluarga dan\r\nlingkungan tempat tinggal setiap anak juga harus diperhatikan oleh orang tua\r\nsehingga orang tua memberikan perhatian lebih kepada anak agar anak tidak\r\nterpengaruh pergaulan yang negatif dan akhirnya melakukan perbuatan kriminal.
- No. Panggil 340.1 PER k
- Edisi
- Pengarang Jelita Permatasari
- Penerbit Univ Esa Unggul 2012